A. HAKIKAT TASAWUF
Pengertian Tasawuf
Istilah
"tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama
berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf
Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa
fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian
atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang
berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di
baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi
berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi
masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang
miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf
berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang
yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya
dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol
kesederhanaan.
Harun
Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada
di hadirat Tuhan.
Ada sebagian orang yang mulai
menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan
dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri,
penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka
untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan
mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia,
Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks
Islam.
Imam
Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil
setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan
asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan
tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan
ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq
(1494 M.) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang
dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah,
dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan
pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam
batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan,
"Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu
memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak
akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang
dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran
Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal
baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan
akhirnva adalah karunia Ilahi.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf
sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat
mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf,
seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih
dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh
sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr Al- Sarraj
menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran,
tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami
istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan
Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) ,
ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana'
atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam
realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan
atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut
Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan
moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa.
Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta
kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai
baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud,
qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam
realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang
Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau
mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan
kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan
Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya
tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya
dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186
B. HAKIKAT ILMU KALAM
Pengertian Ilmu Kalam
Nama
lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu
tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut
juga 'Teologi Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang
keTuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di
dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah
mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi
tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan';
pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan
terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah
(Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam
Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar
Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan
Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran.
(Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan
kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).
C. HAKIKAT FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Menurut
analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo
berarti cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf
Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa
filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus
Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah
pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk
mencapainya. Al Farabi filosuf muslim
terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang
alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat
itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika,
agama, dan antripologi. Immanuel Kant yang sering disebut raksasa pikir barat,
mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek
Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek
formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi
atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya
adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang
obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
D. HAKIKAT ILMU FIQIH PENGERTIAN FIQIH
Fiqh
merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan
dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha
menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas
dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah
yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal,
jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan
tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.
Pengertian Fiqh
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh
menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku.
Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
Pengertian
fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91,
Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78
Fiqh
dalam terminologi Islam
Dalam
terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami
oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi
kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi
masing-masing generasi;
Pengertian
fiqh dalam terminologi generasi Awal
Dalam
pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh
berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana
tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan
Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia
menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak
orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang
lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan
seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah).
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas,
Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah,
berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir."
(HR Bukhari Muslim).
Dalam
penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW
telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para
ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah
! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan
ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada
para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena
dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:
"Khususkan
(saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna
fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat,
tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi
judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah
fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra
sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua
istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan
akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan
Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan
norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang
memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta
memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih
jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah
Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama
identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap
cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau)
fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir
saja."
Demikian
juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang
yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya
penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi
tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang
faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami
agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri
dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa
menasihati jama'ahnya."
Pengertian
fiqh dalam terminologi Mutaakhirin
Dalam
terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum
Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.
Syarah/penjelasan
definisi ini adalah:
- Hukum
Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram,
Makruh dan Mubah.
- Yang
bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
-
Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimu sholaah",
bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.
Dengan
definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah
(aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi
juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu
membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh
kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih
spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh
dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan
hujjah dan argumen.
E. HAKIKAT ILMU JIWA
Pengertian Ilmu Jiwa
Ilmu
jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses
mental yang terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang
peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara
hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham), dan kecenderungan-kecenderungan
(awathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa yang menggerakkan
perilaku manusia.
Ilmu
jiwa mengarahkan pembahasan pada aspek batin yang di dalam Qur’an diungkapkan
dengan istilah insan. Dimana istilah ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia
yaitu kegiatan belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, beban amanah
yang dipikulkan, konsekuensi usaha perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan
akhlak, kepemimpinannya, ibadahnya dan kehidupannya di akhirat. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat
manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya. Berarti manusia memiliki kedua
potensi tersebut. Beliau mengutip ayat yang berbunyi:
“Maka Kami telah memberi petunjuk
(kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk”) (QS. Al-Balad, 90:
10)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”. (QS. As-Syams: 7-8)
Dalam
diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan
keburukan. Potensi rohaniah secara lebih dalam dikaji dalam ilmu jiwa. Untuk
mengembangkan ilmu akhlak kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh
ilmu jiwa. Di dalam ilmu jiwa terdapat informasi tentang perbedaan psikologis
yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya.
F. Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Ilmu
Filsafat, Ilmu Fiqih, Dan Ilmu Jiwa
Ø
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Ilmu
kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,
baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis,
sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa
dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam
ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam
menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat,
dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba
dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula
perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa
bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ?
Pernyataan-pernyataan
diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang
membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu
Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah
dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk
dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman
dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan
batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode
praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga
tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya
diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah
tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam,
ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan
yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih
terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf
merupakan penyempurna ilmu kalam.
Berfungsi
sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang
bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau
penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu
harus ditolak.
Berfungsi
sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi
sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu
kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi
memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika
keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.
Andaikata
manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan
sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada
rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah
pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari
sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam
pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua
persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak
kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.
Ø
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Falsafah
Biasanya
Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa
pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa
timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan
ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah
pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan
mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya
filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual
dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal
melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun
intelek intuitif (dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan
filsafat, yaitu :
Bentuk
hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah
pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali
bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar,
dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat,
dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek
dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar
juga memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik,
dan menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan
pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah
bimbingan spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan
falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi
adalah sebuah Masterpiece filsafat.
Hubungan
antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin
erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat
peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri
tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling
luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas
tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian,
dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya
datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat
mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat
efektif menggabungkan filsafat dan
Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada
periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi
penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan
rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam
tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
Hubungan
antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang
sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat.
Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul
Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada
jalan spiritual dan telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara
mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami
filsafat dan cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik
pada filsafat peripatetic dan
rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati
dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara
kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya
salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani
menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang
terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar
yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi.
Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam
ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece
dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam
syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat
sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya
bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam filsafat
peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani, yang
Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir
Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting,
Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat
yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua sesungguhnya
adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut upaya pemantapan
hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
Kategorisasi
umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang
mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah
Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang
dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan
kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai
filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar
makrifati.
Ø
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
Biasanya,
pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian
persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang
thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan
nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat
menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf
tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah
ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu
menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu
para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami
fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia
melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling
menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu
terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan
tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli
sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih.
Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum
dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus
mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan
bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling
melengkapi.
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan
jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan corak batin terhadap ilmu
fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut jalannya
masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak
akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat secara rasa terhadap Allah
melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat
diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam
tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah
SWT sendiri telah berfirman:
Artinya:
”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
Berkaitan
dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat
golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk
melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul
mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu
para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami
fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia
ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu
yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti
ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi
berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak
mengamalkan ilmunya.
Jadi,
seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus
mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara
pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan
sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para
ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan
sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan
perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.”
Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya;
atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya
mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para
pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu
tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat
dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping
disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah
menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua
disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya,
dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini
sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami
bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat
kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak
diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga
sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga
tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
Ø
Hubungna Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Dalam
pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf
tersebut adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa
dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan
perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan
baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang
berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang
ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek.
Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis
jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah
nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah
perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu
insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani pula. Orang
yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup,
karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga,
dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan
cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu
menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan
dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Semua
praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan
latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih
sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan
untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam
menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari
hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Manusia
sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani
manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang
dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani
atau jiwa atau qalbu.
Di
dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada
penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur,
resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan
tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan
(psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri,
dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa
lainnya.
Tasawuf
berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada
dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan
jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan
demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena
salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki
ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit
psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf
juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja,
jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari
sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan
unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat
adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf)
dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas
dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam
pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf
adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan
badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan
perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan
baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia
disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan
jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam
pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang
berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu
hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula.
Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku
insani pula.
Kalau
para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti
bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan
kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti
bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka
pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan
kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.
Dengan
demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori
dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari
teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf
dengan psikologi Islam.
Namun
pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan
Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas
jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal
dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan
adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia.
Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung
mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya.
Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari
dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan
mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya
karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan
bagaimana kondisi kejiwaannya.
KESIMPULAN
a) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu kalam
adalah Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati
(Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa
jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.
Sedangkan
kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui
penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis)..
Pada
ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan
manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf
ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan
ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari
kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh
seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan,
tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam
kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
Sebagai
pemberi wawasan spiritual dalam
pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam
menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan
demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
b) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu
filsafat, Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran
mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah
tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh
mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan
mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat
diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi)..
c) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh
keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin
ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat
dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi
sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika
tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu
juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga
tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
d) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
adalah Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan.
Tujuan yang dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam
tasawuf adalah terciptanya keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa
dan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan
prilaku yang diperaktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak
baik atau sebaliknya.
Dari
uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah
suatu ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa
kita lebih tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat
tapi hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa
berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.
( Baca juga : Apakah Ajaran Tasawuf Dapat Merusak Akidah )
( Baca juga : Apakah Ajaran Tasawuf Dapat Merusak Akidah )
SARAN
Maka
dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena
inti tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani
dan rohani dari akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa
menjaga dirinya dari kedua hal tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf.
apa perbedaan tasyawuf dengan fiqh seara metodis
ReplyDelete